Kamis, 19 September 2013

Budi Utomo



Budi Utomo
  
   A.    Awal Kelahiran Budi Utomo
Dilihat dari kehidupan masyarakat pribumi yang masih bersifat sangat tradisional, maka apa yang dilakukan oleh sekelompok pelajar STOVIA di Kwitang merupakan langkah yang sangat inovativ karena untuk pertama kali terjadinya pembentukan organisasi modern di Hindia Belanda yang isinya adalah kaum terpelajar pribumi.
Sebelum Budi Utomo lahir, Dr. Wahidin Sudirohoesodo berkeinginan untuk mendirikan suatu Studiefonds, yang bertujuan untuk para pemuda yang berkeinginan untuk melanjutkan pelajarannya, namun tidak mampu melanjutkannya karena disebabkan oleh tidak mampu secara materi, dan disini peran Studiefonds yang ingin didirikan oleh Dr. Wahidin Sudirohoesodo. Untuk mewujudkan cita-citanya Dr. Wahidin Sudirohoesodo melakukan langkah awal dengan mengunjungi sekolah-sekolah yang dianggap tinggi pada masa itu, salah satunya sekolah dokter STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) di Kwitang, lalu Dr. Wahidin menceritakan cita-citanya tersebut kepada para siswa kedokteran tersebut, maka setelah mendengar cerita dari Dr. Wahidin maka dengan sendirinya timbullah keinginan dari para siswa untuk meluaskan cita-cita beliau itu dengan tidak hanya berusaha untuk mendirikan Studiefonds, tetapi mendirikan suatu perkumpulan yang bertujuan lebih luas dari pada Studiefonds saja.
Budi Utomo(ejaan Soewandi: Boedi Oetomo) adalah sebuah organisasi pemuda yang didirikan oleh Dr. Sutomo pada tanggal 20 Mei 1908. Berdirinya organisasi Budi Utomo menjadi awal gerkan sosial yang bertujuan mencapai kemerdekaan Indonesia walaupun pada saat itu organisasi ini awalnya hanya ditujukan bagi golongan berpendidikan Jawa.
Dalam pembentukan Budi Utomo ini, selain dari cita-cita Dr. Wahidin Sudirohoesodo ada beberapa hal yang melatar belakangi berdirinya organisasi ini, antara lain:
1)      Keadaan masyarakat Indonesia yang semakin memburuk baik sosial maupun ekonomi akibat dari kebijakan Belanda yang meruntuhkan harkat dan martabat bangsa.
2)      Sebagai wadah bagi para pemuda untuk menyampaikan aspirasi serta keinginan untuk menyaingi organasasi lainnya seperti : Tiong Hoa Hwee Koan, Indische Bond.
3)      Menyatukan seluruh tenaga dan pikiran seluruh pemuda masyarakat Jawa, Sunda dan Madura.
Setelah beberapa hal yang melatarbelakangi pembentukan Budi Utomo, adapun tujuan yang ingin dicapainya salah satunya adalah kemajuan yang harmonis untuk nusa dan bangsa Jawa dan Madura. Kenapa hanya tujuannya hanya meliputi Jawa dan Madura saja, karena konsep persatuan Indonesia pada saat itu belum ada, inilah sebabnya, maka yang dikehendaki oleh organisasi Budi Utomo itu hanya meliputi Jawa dan Madura saja dan belum sama sekali disebutkan konsep kemerdekaan pada masa itu. Dengan cara bagaimana organisasi mewujudkan tujuannya itu, maka disebutkan beberapa usaha :
1)      Memajukan pengajaran sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh Dr. Wahidin Sudirohoesodo sebagai usaha pertama yang akan dijalankan untuk mencapai tujuan kemajuan bangsa (Jawa dan Madura).
2)      Memajukan pertanian, peternakan dan perdagangan. Jadi usaha dipertimbangkan, kemajuan itu harus juga dalam bidang perekonomian.
3)      Memajukan teknik dan industri. Jadi dalam bidang inipun sudah dicita-citakan sebagai usaha.
4)      Menghidupkan kembali kebudayaan. Jadi lapangan kebudayaan juga sudah ditarik didalam usaha organisasi Budi Utomo.
Barulah pada kongres 1928 ada hal yang telah diputuskan yang sangat penting ialah dalam kongres itu ditambahkan suatu pasal mengenai tujuan. Tujuan perkumpulan Budi Utomo ditambah dengan satu kalimat yang berbunyi: “Ikut berusaha untuk melaksanakan cita-cita persatuan Indonesia.

   B.     Perkembangan Organisasi Budi Utomo
Sebagai organisasi yang baik, Budi Utomo memberikan usulan kepada Pemerintahan Hidia Belanda, yakni sebagai berikut :
1)      Meninggikan tingkat pengajaran di sekolah, guru bumi putera maupun sekolah priyayi.
2)      Memberikan beasiswa bagi siswa-siswa bumi putera.
3)      Menyediakan lebih banyak tempat pada sekolah pertanian.
4)      Izin pendirian sekolah desa untuk Budi Utomo.
5)      Mengadakan sekolah VAK/keturunan untuk para bumi putera dan para perempuan.
6)      Memelihara tingkat pelajaran di sekolah-sekolah dokter Jawa.
7)      Mendirikan TK untuk bumi putera.
8)      Memberikan kesempatan kepada bumi putera untuk mengenyam pendidikan di sekolah rendah Eropa atau sekolah Tionghoa-Belanda.
Kongres pertama Budi utomo diadakan di Yogyakarta pada Oktober 1908 untuk tidak mengadakan kegiatan politik, mengutamakan bidang pendidikan dan kebudayaan, serta mengangkat R.T Tirtokusumo sebagai Ketua.
Tindakan-tindakan politik Budi Utomo di mulai pada tahun 1915. Akar masalah dalam keikutsertaan Organisasi Budi Utomo ke kancah Politik terlihat ketika waktu inlandschemilitie dipersoalkan. Masalah ini merupakan persoalan politik yang ternyata ikut terlibat dalam propagandauntuk memperjuangkan adanya milisi bagi kaum bumi putera. Dalam hal ini Budi Utomo menunjuk seorang anggotanya yaitu Dwijosewoyo untuk mewakili dalam delegasi yang dikirim ke Belanda pada bulan Januari 1917, untuk menyampaikan suatu permohonan kepada ratu Wilhelmina.

   C.    Reaksi Pemerintah Belanda
Sejak Budi Utomo didirikan di gedung STOVIA, pihak pemerintah kolonial Belanda mengikutinya dengan cermat. Walaupun para anggota Budi Utomo dalam perkembangannya banyak mendapat pengaruh dari kaum intelektual radikal muda seperti Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, dan Ki hajar Dewantara, terutama melalui artikel-artikelnya yang ditulisnya dalam surat kabar dan kontak secara pribadi, perwujudan dalam gerak roda Budi Utomo masih dianggap tidak membahayakan pemerintah kolonial Belanda. Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa para pengurusnya berasal dari priyayi yang moderat.

  D.    Puncak Pengaruh Budi Utomo
Dalam kongres 1931 diambil keputusan penting, yaitu kongres memerintahkan kepada pengurus besar untuk berusaha mempersatukan perkumpulan-perkumpulan ysng berdasarkan kebangsaan Indonesia. Jadi pada waktu itu dirasa bahwa ada beberapa perkumpulan yang sebenarnya cita-citanya sama dan dasarnya sama, akan tetapi terpecah-pecah, karena itu timbul keinginan yang kemudian dicantumkan dalam suatu keputus kongres, memerintahkan kepada pengurus besar untuk berusaha mempersatukan perkumpulan-perkumpulan yang berdasarkan kebangsaan Indonesia. Usaha yang dilakukan pengurus itu berhasil namun pada tahun 1935 setelah diadakan persiapan perundingan dengan perkumpulan-perkumpulan lai, maka dalam bulan Desember 1935 telah terjadi fusi penyatuan menjadi satu perkumpulan dari Budi Utomo dengan perkumpulan Persatuan Bangsa Indonesia (PBI), ialah persatuan bangsa Indonesia yang berkedudukan di Surabaya dan dipimpin oleh Dr. Sutomo.
Dr. Sutomo yang mendirikan Budi Utomo serta kemudian mendirikan Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) yang berkedudukan di Surabaya, sehingga kedua perkumpulan yang didirikan oleh Dr. Sutomo itu sekarang berfusi menjadi satu perkumpulanyang menamakan diri mereka Partai Indonesia Raya dengan singkatan PARINDRA. Jadi PARINDRA lahir di masyarakat Indonesia pada akhir tahun 1935 sebagai penyatuan, fusi dari Budi Utomo dan PBI. Demikianlah puncak perkembangan Budi Utomo yang berawal dari pembentukannya pada tahun 1908 sampai melebur ke dalam PARINDRA pada 1935 dengan fusi bersama Persatuan Bangsa Indonesia,


Daftra Pustaka
Kartodirdjo, Sartono. 1999. Sejarah Pergerakan Nasional Jilid 2. Jakarta. PT Gramedia.
Tirtoprodjo, Susanto. 1970. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia. Jakarta. P.T Pembangunan
Ricklefs, 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta. Serambi Ilmu Semesta

Sabtu, 06 April 2013

Perang Paderi



A.Kaum Paderi dan Kaum Adat

     Kaum paderi adalah kaum agama dalam masyarakat yang berpegang teguh pada ajaran islam sementara kaum adat sendiri adalah kaum adat yang bersandar dan berpegang pada ajaran adat. Pada awalnya kedua kelompok ini dalam masyarakat minangkabau hidup berdampingan dan berdamaian. Mereka saling bekerja sama dan saling membantu sesamanya hingga muncul istilah pepatah minangkabau yang berbunyi” adat basandi syara, syara basandi adat”.
 
     Wilayah minangkabau memiliki seorang raja yang dalam melaksanakan pemerintahan nya dibantu oleh empat orang pembantu nya yang disebut dengan Bata Ampek Balai.  Mereka adala Indomo di Suruaso, Titah di sungai Tarab, Mangkudun di Sumajuk dan Kadi di Padang Ganting. Raja hanya dihormati sebagai lambang negara Minangkabau karena raja tidak memiliki kekuasaan. Penduduk minangkabau yang terdiri dalam 12 suku menyebar diseluruh daerah minangkabau. Dimana setiap suku di pimpin oleh seorang penghulu yang memiliki kekuasaan terhadap sukunya masing-masing. Sementara raja sendiri dan pembantu-pembantunya tidak termasuk dalam suku-suku tersebut. Atau disebut orang luar suku,sehingga yang sebenarnya memegang kekuasaan adalah para penghulu yang tergabung  dalam dewan penghulu atau dewan nagari.


      Raja,bangsawan dan para penghulu ini lah yang memegang peranan penting dalam ronda poros pemerintahan adat. Kemudian timbul kebiasaan-kebiasaan buruk pada masyarakatnya seperti: berjudi,mabuk-mabukan,madat dan menyabung ayam. para pemimpin adat yang seharusnya melarang hal tersebut malah terjebak dalam aktifitas tersebut. Sehingga lambat laun hal tersebut merambat kepada para pemudanya.

    Melihat hal tersebut para kaum ulama menjadi gerah yang melakukan gerakan yang dikenal dengan gerakan paderi. Gerakan ini bertujuan untuk mengembalikan masyarakat kembali kepada islam yang murni. Dan itu menjadi awal percikan-percikan api pertentangan antara kaum adat dan kaum ulama.

    Pada akhir abab ke 18 ada seorang ulama dari kota tua yang bernama tuanku kota tua. Ulama ini melakukan pembaharuan di kalangan masyarakat. Ia mengatakan masyarakat sudah terlalu jauh menyimpang dari ajaran islam. Dan sudah saatnya bagi masyarakat kembali pada ajaran yang sesuai dengan alaqur’an dan sunnah rasul.

   Tuangku ini mempunyai seorang murid yang pintar dan taat yang sudah terkenal seantero tanah agam yang bernama Tuang Nan Renceh. Pada tahun 1803 pulang tiga orang haji dari tanah mekah yakni Haji Miskin dari Pandai Sikat Haji Sumanik dari Delapan Kota dan Haji Piobang dari Tanah Datar. Selama di mekkah mereka melihat bagaimana kaum wahabbi meluruskan kembali masyarakatnya. Sehingga mereka juga ingin meluruskan masyarakatnya seperti yang mereka lihat. Dengan hal ini mereka awali dengan mengajar di kampung-kampung. Sewaktu di pandai sikek Haji Miskin melihat orang menyabung ayam dan dia bergegas untuk melarangnya. Namun dia tak di acuhkan oleh masyarakatnya. Sehingga Haji Miskin menjadi marah dan membakar arena menyabung ayam itu pada malam hari.  Sehingga menyebabkan kaum adat marah dan mengejar Haji Miskin. Namun haji miskin bisa  melarikan diri ke kota lawas dan mendapat perlindungan dari tuanku mensiangan. Dan disini haji miskin menyebarkan pengaruhnya sehingga banyak penghulu yang ikut dengannya dan menyebabkan kaum adat bertambah marah padanya. 

    Para penghulu yang bergabung bersama Haji Miskin adalah Tuangku Nan Renceh, Tuangku Lubuk Aur,Tuangku Berapi,Tuangku Padang Lawas,Tuangku Padang Luar,Tuangku Galung,Tuangku Biaro dan Tuangku Kapau. Karena mereka berjumlah delapan mereka mendapat julukan”Harimau Nan Salapan” dan sebagai ketua adalah Tuangku Mensiangan sebagai ulama terkenal dan disegani.

    Dalam prakteknya Tuanku Nan Renceh mengingatkan kekerasan agar setiap masyarakat dapat dikembalikan secepatnya kepada syara’nya.

    Namun kaum adat tidak tinggal diam menghadapi hal tersebut mereka bersama-sama melakukan sabung Ayam besar-besaran sebagai sindiran pada kaum Paderi di kampung batipuh. Keadaan yang sebelumnya sudah tegang akhir pertempuran meletus juga disana. Dan Tuangku Nan Renceh menyebarkan pahamnya ke daerah luhak lima puluh kota yang diterima masyarakatnya. Tetapi tilatang,matur dan candung menolak paham tersebut sehingga terjadi pertempuran. Tuangku Kota Tua yang berkeinginan agar hal tersebut disampaikan secara baik-baik dan lunak akhirnya gagal.

     Di tempat lain di daerah lembah alahan panjang pimpinan adat tertingginya Datuk Bandaro setelah mempelajari paham ini tertarik untuk ikut dan menerima nya.  Dan paham ini akhirnya menyebar di alahan panjang. Tetapi ada kelompok yang menentang hal ini mereka dipimpin oleh Datuk Sati.

     Kaum Paderi membangun sebuah benteng di daerah Bonjol sekaligus sebagai basis terkuat mereka. Dimana dalam benteng ini terdapat sebuah Mesjid,40 rumah, dan tiga gubuk.

     Ketika Datuk Bandaro meninggal karena diracun ia digantikan oleh putranya yang bernama Muhamad Syahab atau Pelo(Pendito) Syarif yang nantinya dikenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol. Anak dari Tuangku Rajanuddin dari kampung Padang Bubus, Tanjung Bungo, daerah Lembah Alahan Panjang. Di tanah datar meletus pertempuran yang dipimpin oleh Tuangku Pasaman bergelar Tuangku Lintau. Dalam perang ini kaum adat terdesak dan kaum paderi semakin menancapkan kuku pengaruhnya disini.


B. MASUKNYA CAMPUR TANGAN ASING



      Kekalahan demi kekalahan yang diderita oleh kaum adat membuat mereka meminta bantuan kepada pihak asing yakni Inggris yang saat itu berkedudukan di Aia Bangih, Padang dan pulau Cingkuak. Kemudian raja Minangkabau mengutus dua orang Tuangku dari Suroaso yakni Tuangku Syamsir alam dan Sultan Kerajaan Alam untuk menemui Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles.  Setelah menimbang untung rugi Raffles menerima usulan tersebut setelah usulan memberi jas kepada kaum paderi tidak menecapai kesepakatan. Namun perjanjian ini tidak berlangsung lama karena pada tahun 1824 Inggris melakukan perjanjian London yang menyebabkan mereka angkat kaki dari tanah air. Dan peranan mereka di gantikan oleh Belanda. Dan pada tanggal 10 februari 1821 Tuangku Suruaso dan 14 penghulu menghadap Belanda dan melakukan perjanjian. Dengan dasar perjanjian ini 

      Maka beberapa di Minangkabau diduduki oleh pihak Belanda. Langkah Belanda tidak semata-mata untuk menghadapi kaum Paderi tetapi lebih pada untuk menanamkan kekuasaanya. Pada tanggal 16 februari 1821 Belanda menduduki Simawang dengan menbawa dua meriam dan seratus tentara. Sejak saat itu kaum Paderi beralih menghadapi pihak Belanda. Kaum Paderi menghadapi pihak Belanda yang memiliki senjata modern dan tentara yang terlatih.

  

C. JALANNYA PERANG


    Perang paderi terbagi atas tiga masa peperangan yaitu:

 a. MASA PERTAMA (1821-1825)


    Kaum Paderi mulai beregerak menyerang pos-pos Belanda pada bulan September 1821. Soli Air Sipinang berkali-kali mendapat serangan dari kaum Paderi yang dipimpin Tuanku Pasaman yang melakukan operasi di daerah hutan. Pihak Belanda yang ingin mengutarakan perdamaian pun melalui perantara seorang pendeta pun ditolak oleh Tuanku Pasaman.

    Pertempuran yang terjadi antara Tuanku Pasaman yang mempunyai pasukan sebanyak 25.000 orang dan bersenjatakan senjata tradisional melawan pasukan Belanda yang beranggotakan 200 orang serdadu Eropa yang bersenjatakan meriam 6 pon dan meriam Kodok. Ditambah 10.000 orang pasukan bantuan dan Bumiputera pun pecah. Dan menyebabkan kerugian kepada kedua belah pihak. Tuangku Pasaman sendiri menderita kerugian 350 orang gugur termasuk anaknya sendiri. Dan pada pihak Belanda juga mengalami kerugian yang tidak sedikit karena banyak serdadunya yang tewas dan terluka dalam pertempuran tersebut. Dengan sisa pasukannya Tuangku Pasaman mundur ke daerah Lintau. Sementara belanda sendiri setelah berhasil menguasai seluruh lembah Tanah Datar, Belanda mendirikan benteng di Batusangkar.

     Pada tanggal 14 agustus 1822 di sekitar daerah Baso, pasukan Paderi di bawah pimpinan Tuangku Nan Renceh menyerang pasukan Belanda yang saat itu di bawah pimpinan Kapten Goffinet yang mendapat luka berat pada akhir peperangan. Di daerah lain Guguk Sigandang dan Tajong Alam pasukan Paderi membakar kampung-kampung yang memihak kaum adat. Pasukan Paderi pada saat itu berjumlah 20.000 orang.

    Kolonel Stuers diangkat menjadi penguasa sipil dan militer di Sumatera Barat melakukan perjanjian dengan kaum paderi tanggal 25 Oktober 1825. Kaum paderi yang diwakili oleh Tuangku Keramat mengadakan perjanjian dengan pihak Belanda yang isinya antara lain:

1.  Mengakui kekuasaaan para Tuanku

2.  Kedua belah pihak akan saling melindungi para pejalan dan pedagang

3. kedua belah pihak akan saling melindungi para pengungsi.

Dan perjanjian ini baru ditandatangani pada tanggal 15 november 1825.




b. MASA KEDUA (1825-1830)


     Pada masa ini pihak Belanda bersikap lunak pada kaum paderi karena pada saat bersamaan sedang berlangsung Perang Diponegoro di pulau Jawa. Sehingga untuk meminimalisir korban pada kedua perang pihak Belanda bersikap lunak kepada kaum paderi agar pihak Belanda bisa fokus pada Perang Jawa. Namun bentrokan-bentrokan kecil masih sering terjadi pada periode ini. Pada bulan September 1826 serdadu-serdadu Belanda di Minangkabau sebanyak 5000 orang beserta 17 opsir berangkat ke pulau Jawa. Sehingga cuma tinggal 677 letaknya tersebar pada 17 pos yang tersebar di Sumatera Barat.
     Di Pariaman peperangan yang dipimpin oleh Tuanku Nan Cadiak di Naras berhasil mengalahkan pasukan Belanda di bawah pimpinan Kapten De Rechemont yang berkekuatan 130 serdadu dan 50 marine. Yang menyebabkan lima pasukan Belanda  tewas dan puluhan luka-luka.  Kekuasaan Belanda yang melemah dimanfaatkan oleh kaum paderi untuk menggangu daerah-daerah yang yang dikuasai Belanda di Sumatera Barat. 
   Melihat Belanda bersikap lunak pada kaum paderi kecewa dan mulai melakukan perlawanan juga. Kira-kira 70 orang penghulu adat dengan bantuan penduduk XIII kota yang bersikap anti Belanda menyerbu Padang. Kemudian mundur lagi setelah 100 serdadu Belanda melawannya. Sementara ini kaum paderi yang bergerak di sebelah utara Pasaman berhasil menduduki Air Banggis yang dijaga berkekuatan 300 orang, sedangkan dari arah laut penjagaan dibantu oleh perahu-perahu Aceh di bawah Sidi Mara.




c. MASA KETIGA (1830-1833)


      Pada tanggal  4 maret 1831 kolonel G.P.J. Elout diangkat menjadi residen memjabat pimpinan tertinggi di sumatera barat. Di awal tugasnya Elout punya tugas yang berat untuk mematahkan perlawanan kaum paderi atau setidak-tidaknya menghentikan pengaruh kaum paderi yang semakin berkembang. Dan Elout menargetkan menyerang Tuanku Nan Cadiak yang mempimpin di Naras. Karena menurutnya kelompok ini yang punya pengaruh paling kuat. Dan serangan tiba-tiba dilancarkan pada tanggal 6 juni 1831, sehingga dalam pertempuran ini pasukan nan Tuanku Nan Cadiak terpaksa menyingkir ke Bonjol. Di tempat lain pada tanggal 22 september 1831 sijantang dapat ditaklukan belanda setelah bertahan sejak tanggal 14 september 1831. Pada bulan maret Tuanku Nan Cadiak mengabungkan pasukannya dengan Tuanku Imam Bonjol memberangkatkan pasukannya menuju tiku yang menimbulkan kekhawatiran pihak belanda terlebih di saat pasukan kaum paderi mernbangun markas di megopo. Oleh sebab itu pihak melanda memberangkatkan pasukannya yang ada di pariaman menuju tiku. Dan perang kembali pecah di tiku yang menyebabkan kerugian besar kepada kedua belah pihak.

     Di daerah agam perlawanan Tuangku Damasiang dapat dipatahkan oleh belanda, belanda menyerang pasukan Tuangku Damasiang karena merupakan ancaman bagi kedudukan mereka di Ford De Kock. Walaupun untuk mengalahkan pasukan Tuangku Damasiang pihak Belanda mengerahkan 250 orang pasukannya dengan susah payah. Setelah berhasil belanda melupakan janji-janjinya kepada kaum adat yang banyak membantu dalam melawan kaum paderi, oleh sebab itu kaum adat mulai berbalik mendekati kaum paderi.

     Tahun 1833 kaum adat dan kaum paderi sepakat untuk bersatu menentang belanda dengan perjanjian tandikat. Sejak saat itu, kaum paderi dan kaum adat bersatu menghadapi Belanda dengan mengangkat Tuanku Imam Bonjol sebagai pemimpin. Serangan demi serangan di lancarkan oleh rakyat Minangkabau banyak memakan korban dari pihak Belanda. Sehingga menyebabkan Kolonel Verneulen Krierger yang berkedudukan di bukittinggi meminta bantuan ke padang. Setelah tahun 1833 belanda menyadari pusat perlawanan minangkabau adalah Bonjol.

     Untuk itu pihak belanda mengerahkan pasukannya ke bonjol yang dipimpin langsung oleh Jenderal Van den Bosch yang diminta pemerintahan hindia belanda untuk memimpin langsung penyerangan ini.

Belanda mengatur siasat dengan cara menyerang dari tiga jurusan:

1. Jurusan Utara, Yaitu Rao belanda dipimpin oleh Mayor Eilers

2. Jurusan Barat, Yaitu Manggopoh dipimpin oleh kolonel Elout

3. Jurusan Selatan, Yaitu bukittinggi dipimpin oleh Van Bosch

    Serangan yang dilakukan belanda pada september 1833 mengalami kegagalan dan menelan banyak korban pada pihak belanda. Tuanku Imam Bonjol menolak perjanjian itu namun masyarakat minangkabau menerimanya. 


d. MASA AKHIR PERANG (1833-1838) 

    Namun perjanjian tidak berumur lama karena setelah belanda kuat ia menyerang kembali benteng Bonjol. Namun Jenderal van den Bosch kembali menyerbu Bonjol. Ia gagal, 60 orang tentaranya tewas. Kegagalan serupa terjadi pada pasukan Jenderal Cochius. Namun serangan dadakan berikutnya menggoyahkan kubu Paderi. Masjid dan rumah Imam Bonjol terbakar. Paha Imam Bonjol tertembak. Ia juga terkena 13 tusukan, meskipun ia sendiri berhasil menewaskan sejumlah serdadu. Dalam keadaan terluka parah, Imam Bonjol terus memimpin Paderi dari tempat perlindunganya di Merapak, lalu ladang Rimbo, dan kemudian Bukit Gadang. Dalam pelarian dan persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus mencoba mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah, namun karena telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda secara terus menerus, ternyata hanya sedikit saja yang tinggal dan masih siap untuk bertempur kembali. Dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba datang surat tawaran dari Residen Francis di Padang untuk mengajak berunding. Kemudian Tuanku Imam Bonjol menyatakan kesediaannya melakukan perundingan. Perundingan itu dikatakan tidak boleh lebih dari 14 hari lamanya. Selama 14 hari berkibar bendera putih dan genjatan senjata berlaku. Tuanku Imam Bonjol diminta untuk datang ke Palupuh, tempat perundingan, tanpa membawa senjata. Tapi hal itu cuma jebakan Belanda untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol, peristiwa itu terjadi di bulan Oktober 1837, dan kemudian Tuanku Imam Bonjol dalam kondisi sakit langsung dibawa ke Bukittinggi kemudian terus dibawa ke Padang, untuk selanjutnya diasingkan. Namun pada tanggal 23 Januari 1838, ia dipindahkan ke Cianjur, dan pada akhir tahun 1838 ia kembali dipindahkan ke Ambon. Kemudian pada tanggal 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol kembali dipindahkan ke Manado, dan di daerah inilah setelah menjalani masa pembuangan selama 27 tahun lamanya, pada tanggal 8 November 1864, Tuanku Imam Bonjol menghembuskan nafas terakhirnya.

    Setelah penangkapan Tuangku Imam Bonjol pada tahun 1837 perlawanan kaum paderi berhenti. Namun  perang melawan penjajah belum berhenti sampai disitu karena perang kembali dikobarkan oleh Tuangku Tambusai yang berkedudukan di Dalu-dalu(Rokan Hulu) tetap gencar melakukan perlawanan. Namun pada tanggal 28 Desember 1838 benteng terakhir ini dapat ditaklukan oleh belanda. Tuanku Tambusai bersama para pengikutnya terpaksa mundur. Ada banyak versi yang mengatakan kemana Tambusai mundur salah satunya adalah mundur ke negeri sembilan malaysia bersama para pengikutnya.