A.Kaum Paderi dan Kaum Adat
Kaum paderi adalah kaum agama dalam
masyarakat yang berpegang teguh pada ajaran islam sementara kaum adat sendiri
adalah kaum adat yang bersandar dan berpegang pada ajaran adat. Pada awalnya
kedua kelompok ini dalam masyarakat minangkabau hidup berdampingan dan
berdamaian. Mereka saling bekerja sama dan saling membantu sesamanya hingga
muncul istilah pepatah minangkabau yang berbunyi” adat basandi syara, syara
basandi adat”.
Wilayah minangkabau memiliki seorang raja
yang dalam melaksanakan pemerintahan nya dibantu oleh empat orang pembantu nya
yang disebut dengan Bata Ampek Balai. Mereka
adala Indomo di Suruaso, Titah di sungai Tarab, Mangkudun di Sumajuk dan Kadi
di Padang Ganting. Raja hanya dihormati sebagai lambang negara Minangkabau
karena raja tidak memiliki kekuasaan. Penduduk minangkabau yang terdiri dalam
12 suku menyebar diseluruh daerah minangkabau. Dimana setiap suku di pimpin
oleh seorang penghulu yang memiliki kekuasaan terhadap sukunya masing-masing.
Sementara raja sendiri dan pembantu-pembantunya tidak termasuk dalam suku-suku
tersebut. Atau disebut orang luar suku,sehingga yang sebenarnya memegang
kekuasaan adalah para penghulu yang tergabung
dalam dewan penghulu atau dewan nagari.
Raja,bangsawan dan para penghulu ini lah yang memegang peranan penting dalam ronda poros pemerintahan adat. Kemudian timbul kebiasaan-kebiasaan buruk pada masyarakatnya seperti: berjudi,mabuk-mabukan,madat dan menyabung ayam. para pemimpin adat yang seharusnya melarang hal tersebut malah terjebak dalam aktifitas tersebut. Sehingga lambat laun hal tersebut merambat kepada para pemudanya.
Melihat hal tersebut para kaum ulama
menjadi gerah yang melakukan gerakan yang dikenal dengan gerakan paderi.
Gerakan ini bertujuan untuk mengembalikan masyarakat kembali kepada islam yang
murni. Dan itu menjadi awal percikan-percikan api pertentangan antara kaum adat
dan kaum ulama.
Pada akhir abab ke 18 ada seorang ulama
dari kota tua yang bernama tuanku kota tua. Ulama ini melakukan pembaharuan di
kalangan masyarakat. Ia mengatakan masyarakat sudah terlalu jauh menyimpang
dari ajaran islam. Dan sudah saatnya bagi masyarakat kembali pada ajaran yang
sesuai dengan alaqur’an dan sunnah rasul.
Tuangku ini mempunyai seorang murid yang
pintar dan taat yang sudah terkenal seantero tanah agam yang bernama Tuang Nan Renceh. Pada
tahun 1803 pulang tiga orang haji dari tanah mekah yakni Haji Miskin dari
Pandai Sikat Haji Sumanik dari Delapan Kota dan Haji Piobang dari Tanah Datar.
Selama di mekkah mereka melihat bagaimana kaum wahabbi meluruskan kembali
masyarakatnya. Sehingga mereka juga ingin meluruskan masyarakatnya seperti yang
mereka lihat. Dengan hal ini mereka awali dengan mengajar di kampung-kampung.
Sewaktu di pandai sikek Haji Miskin melihat orang menyabung ayam dan dia
bergegas untuk melarangnya. Namun dia tak di acuhkan oleh masyarakatnya.
Sehingga Haji Miskin menjadi marah dan membakar arena menyabung ayam itu pada
malam hari. Sehingga menyebabkan kaum
adat marah dan mengejar Haji Miskin. Namun haji miskin bisa melarikan diri ke kota lawas dan mendapat
perlindungan dari tuanku mensiangan. Dan disini haji miskin menyebarkan
pengaruhnya sehingga banyak penghulu yang ikut dengannya dan menyebabkan kaum
adat bertambah marah padanya.
Para penghulu yang bergabung bersama Haji
Miskin adalah Tuangku Nan Renceh, Tuangku Lubuk Aur,Tuangku Berapi,Tuangku
Padang Lawas,Tuangku Padang Luar,Tuangku Galung,Tuangku Biaro dan Tuangku Kapau.
Karena mereka berjumlah delapan mereka mendapat julukan”Harimau Nan Salapan” dan sebagai ketua adalah Tuangku Mensiangan
sebagai ulama terkenal dan disegani.
Dalam prakteknya Tuanku Nan Renceh
mengingatkan kekerasan agar setiap masyarakat dapat dikembalikan secepatnya
kepada syara’nya.
Namun kaum adat tidak tinggal diam
menghadapi hal tersebut mereka bersama-sama melakukan sabung Ayam besar-besaran
sebagai sindiran pada kaum Paderi di kampung batipuh. Keadaan yang sebelumnya
sudah tegang akhir pertempuran meletus juga disana. Dan Tuangku Nan Renceh
menyebarkan pahamnya ke daerah luhak lima puluh kota yang diterima
masyarakatnya. Tetapi tilatang,matur dan candung menolak paham tersebut
sehingga terjadi pertempuran. Tuangku Kota Tua yang berkeinginan agar hal
tersebut disampaikan secara baik-baik dan lunak akhirnya gagal.
Di tempat lain di daerah lembah alahan
panjang pimpinan adat tertingginya Datuk Bandaro setelah mempelajari paham ini
tertarik untuk ikut dan menerima nya.
Dan paham ini akhirnya menyebar di alahan panjang. Tetapi ada kelompok
yang menentang hal ini mereka dipimpin oleh Datuk Sati.
Kaum Paderi membangun sebuah benteng di
daerah Bonjol sekaligus sebagai basis terkuat mereka. Dimana dalam benteng ini
terdapat sebuah Mesjid,40 rumah, dan tiga gubuk.
Ketika Datuk Bandaro meninggal karena
diracun ia digantikan oleh putranya yang bernama Muhamad Syahab atau Pelo(Pendito)
Syarif yang nantinya dikenal dengan nama Tuanku Imam Bonjol. Anak dari Tuangku
Rajanuddin dari kampung Padang Bubus, Tanjung Bungo, daerah Lembah Alahan
Panjang. Di tanah datar meletus pertempuran yang dipimpin oleh Tuangku Pasaman
bergelar Tuangku Lintau. Dalam perang ini kaum adat terdesak dan kaum paderi
semakin menancapkan kuku pengaruhnya disini.
B. MASUKNYA CAMPUR TANGAN ASING
Kekalahan demi kekalahan yang diderita
oleh kaum adat membuat mereka meminta bantuan kepada pihak asing yakni Inggris
yang saat itu berkedudukan di Aia Bangih, Padang dan pulau Cingkuak. Kemudian
raja Minangkabau mengutus dua orang Tuangku dari Suroaso yakni Tuangku Syamsir
alam dan Sultan Kerajaan Alam untuk menemui Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles. Setelah menimbang untung rugi Raffles
menerima usulan tersebut setelah usulan memberi jas kepada kaum paderi tidak
menecapai kesepakatan. Namun perjanjian ini tidak berlangsung lama karena pada
tahun 1824 Inggris melakukan perjanjian London yang menyebabkan mereka angkat
kaki dari tanah air. Dan peranan mereka di gantikan oleh Belanda. Dan pada
tanggal 10 februari 1821 Tuangku Suruaso dan 14 penghulu menghadap Belanda dan
melakukan perjanjian. Dengan dasar perjanjian ini
Maka beberapa di Minangkabau diduduki
oleh pihak Belanda. Langkah Belanda tidak semata-mata untuk menghadapi kaum Paderi
tetapi lebih pada untuk menanamkan kekuasaanya. Pada tanggal 16 februari 1821 Belanda
menduduki Simawang dengan menbawa dua meriam dan seratus tentara. Sejak saat
itu kaum Paderi beralih menghadapi pihak Belanda. Kaum Paderi menghadapi pihak Belanda
yang memiliki senjata modern dan tentara yang terlatih.
C.
JALANNYA PERANG
Perang
paderi terbagi atas tiga masa peperangan yaitu:
a. MASA
PERTAMA (1821-1825)
Kaum Paderi
mulai beregerak menyerang pos-pos Belanda pada bulan September 1821. Soli Air
Sipinang berkali-kali mendapat serangan dari kaum Paderi yang dipimpin Tuanku
Pasaman yang melakukan operasi di daerah hutan. Pihak Belanda yang ingin mengutarakan
perdamaian pun melalui perantara seorang pendeta pun ditolak oleh Tuanku
Pasaman.
Pertempuran yang terjadi antara Tuanku
Pasaman yang mempunyai pasukan sebanyak 25.000 orang dan bersenjatakan senjata
tradisional melawan pasukan Belanda yang beranggotakan 200 orang serdadu Eropa
yang bersenjatakan meriam 6 pon dan meriam Kodok. Ditambah 10.000 orang pasukan
bantuan dan Bumiputera pun pecah. Dan menyebabkan kerugian kepada kedua belah
pihak. Tuangku Pasaman sendiri menderita kerugian 350 orang gugur termasuk
anaknya sendiri. Dan pada pihak Belanda juga mengalami kerugian yang tidak
sedikit karena banyak serdadunya yang tewas dan terluka dalam pertempuran
tersebut. Dengan sisa pasukannya Tuangku Pasaman mundur ke daerah Lintau.
Sementara belanda sendiri setelah berhasil menguasai seluruh lembah Tanah Datar,
Belanda mendirikan benteng di Batusangkar.
Pada tanggal 14 agustus 1822 di sekitar
daerah Baso, pasukan Paderi di bawah pimpinan Tuangku Nan Renceh menyerang
pasukan Belanda yang saat itu di bawah pimpinan Kapten Goffinet yang mendapat luka
berat pada akhir peperangan. Di daerah lain Guguk Sigandang dan Tajong Alam
pasukan Paderi membakar kampung-kampung yang memihak kaum adat. Pasukan Paderi pada
saat itu berjumlah 20.000 orang.
Kolonel Stuers diangkat menjadi penguasa
sipil dan militer di Sumatera Barat melakukan perjanjian dengan kaum paderi
tanggal 25 Oktober 1825. Kaum paderi yang diwakili oleh Tuangku Keramat
mengadakan perjanjian dengan pihak Belanda yang isinya antara lain:
1. Mengakui kekuasaaan para Tuanku
2. Kedua belah pihak akan saling melindungi para
pejalan dan pedagang
3. kedua belah pihak
akan saling melindungi para pengungsi.
Dan perjanjian ini baru
ditandatangani pada tanggal 15 november 1825.
b. MASA KEDUA (1825-1830)
Pada masa ini pihak
Belanda bersikap lunak pada kaum paderi karena pada saat bersamaan sedang
berlangsung Perang Diponegoro di pulau Jawa. Sehingga untuk meminimalisir
korban pada kedua perang pihak Belanda bersikap lunak kepada kaum paderi agar
pihak Belanda bisa fokus pada Perang Jawa. Namun bentrokan-bentrokan kecil
masih sering terjadi pada periode ini. Pada bulan September 1826
serdadu-serdadu Belanda di Minangkabau sebanyak 5000 orang beserta 17 opsir
berangkat ke pulau Jawa. Sehingga cuma tinggal 677 letaknya tersebar pada 17
pos yang tersebar di Sumatera Barat.
Di Pariaman peperangan
yang dipimpin oleh Tuanku Nan Cadiak di Naras berhasil mengalahkan pasukan Belanda
di bawah pimpinan Kapten De Rechemont yang berkekuatan 130 serdadu dan 50
marine. Yang menyebabkan lima pasukan Belanda
tewas dan puluhan luka-luka.
Kekuasaan Belanda yang melemah dimanfaatkan oleh kaum paderi untuk
menggangu daerah-daerah yang yang dikuasai Belanda di Sumatera Barat.
Melihat Belanda bersikap
lunak pada kaum paderi kecewa dan mulai melakukan perlawanan juga. Kira-kira 70
orang penghulu adat dengan bantuan penduduk XIII kota yang bersikap anti Belanda
menyerbu Padang. Kemudian mundur lagi setelah 100 serdadu Belanda melawannya.
Sementara ini kaum paderi yang bergerak di sebelah utara Pasaman berhasil
menduduki Air Banggis yang dijaga berkekuatan 300 orang, sedangkan dari arah
laut penjagaan dibantu oleh perahu-perahu Aceh di bawah Sidi Mara.
c. MASA KETIGA
(1830-1833)
Pada tanggal 4 maret 1831 kolonel G.P.J. Elout diangkat
menjadi residen memjabat pimpinan tertinggi di sumatera barat. Di awal tugasnya
Elout punya tugas yang berat untuk mematahkan perlawanan kaum paderi atau
setidak-tidaknya menghentikan pengaruh kaum paderi yang semakin berkembang. Dan
Elout menargetkan menyerang Tuanku Nan Cadiak yang mempimpin di Naras. Karena
menurutnya kelompok ini yang punya pengaruh paling kuat. Dan serangan tiba-tiba
dilancarkan pada tanggal 6 juni 1831, sehingga dalam pertempuran ini pasukan
nan Tuanku Nan Cadiak terpaksa menyingkir ke Bonjol. Di tempat lain pada
tanggal 22 september 1831 sijantang dapat ditaklukan belanda setelah bertahan
sejak tanggal 14 september 1831. Pada bulan maret Tuanku Nan Cadiak
mengabungkan pasukannya dengan Tuanku Imam Bonjol memberangkatkan pasukannya
menuju tiku yang menimbulkan kekhawatiran pihak belanda terlebih di saat
pasukan kaum paderi mernbangun markas di megopo. Oleh sebab itu pihak melanda
memberangkatkan pasukannya yang ada di pariaman menuju tiku. Dan perang kembali
pecah di tiku yang menyebabkan kerugian besar kepada kedua belah pihak.
Di daerah agam
perlawanan Tuangku Damasiang dapat dipatahkan oleh belanda, belanda menyerang
pasukan Tuangku Damasiang karena merupakan ancaman bagi kedudukan mereka di
Ford De Kock. Walaupun untuk mengalahkan pasukan Tuangku Damasiang pihak
Belanda mengerahkan 250 orang pasukannya dengan susah payah. Setelah berhasil
belanda melupakan janji-janjinya kepada kaum adat yang banyak membantu dalam
melawan kaum paderi, oleh sebab itu kaum adat mulai berbalik mendekati kaum
paderi.
Tahun 1833 kaum adat
dan kaum paderi sepakat untuk bersatu menentang belanda dengan perjanjian
tandikat. Sejak saat itu, kaum paderi dan kaum adat bersatu menghadapi Belanda
dengan mengangkat Tuanku Imam Bonjol sebagai pemimpin. Serangan demi serangan
di lancarkan oleh rakyat Minangkabau banyak memakan korban dari pihak Belanda.
Sehingga menyebabkan Kolonel Verneulen Krierger yang berkedudukan di
bukittinggi meminta bantuan ke padang. Setelah tahun 1833 belanda menyadari pusat
perlawanan minangkabau adalah Bonjol.
Untuk itu pihak belanda
mengerahkan pasukannya ke bonjol yang dipimpin langsung oleh Jenderal Van den
Bosch yang diminta pemerintahan hindia belanda untuk memimpin langsung
penyerangan ini.
Belanda mengatur siasat
dengan cara menyerang dari tiga jurusan:
1. Jurusan Utara, Yaitu
Rao belanda dipimpin oleh Mayor Eilers
2. Jurusan Barat, Yaitu
Manggopoh dipimpin oleh kolonel Elout
3. Jurusan Selatan,
Yaitu bukittinggi dipimpin oleh Van Bosch
Serangan yang dilakukan
belanda pada september 1833 mengalami kegagalan dan menelan banyak korban pada
pihak belanda. Tuanku Imam Bonjol menolak perjanjian itu namun masyarakat
minangkabau menerimanya.
d. MASA AKHIR PERANG
(1833-1838)
Namun perjanjian tidak berumur lama karena setelah
belanda kuat ia menyerang kembali benteng Bonjol. Namun Jenderal van den Bosch
kembali menyerbu Bonjol. Ia gagal, 60 orang tentaranya tewas. Kegagalan serupa
terjadi pada pasukan Jenderal Cochius.
Namun serangan dadakan berikutnya menggoyahkan kubu Paderi. Masjid dan rumah
Imam Bonjol terbakar. Paha Imam Bonjol tertembak. Ia juga terkena 13 tusukan,
meskipun ia sendiri berhasil menewaskan sejumlah serdadu. Dalam keadaan terluka
parah, Imam Bonjol terus memimpin Paderi dari tempat perlindunganya di Merapak,
lalu ladang Rimbo, dan kemudian Bukit Gadang.
Dalam pelarian dan
persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus
mencoba mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang telah
bercerai-berai dan lemah, namun karena telah lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda secara terus menerus, ternyata hanya
sedikit saja yang tinggal dan masih siap untuk bertempur kembali. Dalam
kondisi seperti ini, tiba-tiba datang surat tawaran dari Residen Francis di Padang untuk mengajak berunding. Kemudian Tuanku Imam Bonjol
menyatakan kesediaannya melakukan perundingan. Perundingan itu dikatakan tidak
boleh lebih dari 14 hari lamanya. Selama 14 hari berkibar bendera putih dan genjatan senjata berlaku. Tuanku Imam Bonjol diminta
untuk datang ke Palupuh, tempat perundingan, tanpa membawa
senjata. Tapi hal itu cuma jebakan Belanda untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol,
peristiwa itu terjadi di bulan Oktober 1837, dan kemudian Tuanku Imam Bonjol dalam kondisi sakit langsung dibawa ke Bukittinggi kemudian terus dibawa ke Padang, untuk selanjutnya diasingkan. Namun pada tanggal 23 Januari 1838, ia dipindahkan ke Cianjur, dan pada akhir tahun 1838 ia kembali dipindahkan ke Ambon. Kemudian pada tanggal 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol kembali dipindahkan ke Manado, dan di daerah inilah setelah menjalani masa pembuangan
selama 27 tahun lamanya, pada tanggal 8 November 1864, Tuanku Imam Bonjol
menghembuskan nafas terakhirnya.
Setelah
penangkapan Tuangku Imam Bonjol pada tahun 1837 perlawanan kaum paderi
berhenti. Namun perang melawan penjajah
belum berhenti sampai disitu karena perang kembali dikobarkan oleh Tuangku
Tambusai yang berkedudukan di Dalu-dalu(Rokan Hulu) tetap gencar melakukan
perlawanan. Namun pada tanggal 28 Desember 1838 benteng terakhir ini dapat
ditaklukan oleh belanda. Tuanku Tambusai bersama para pengikutnya terpaksa
mundur. Ada banyak versi yang mengatakan kemana Tambusai mundur salah satunya
adalah mundur ke negeri sembilan malaysia bersama para pengikutnya.