Senin, 25 Maret 2013

Politik dan Ekonomi Indonesia 1811-1816



Politik dan Ekonomi Indonesia 1811-1816


                  A.      Kedatangan Thomas Stamford Raffles
Setelah Napoleon menguasai Belanda dan sementara Daendels memperkuat pertahanan di Jawa, Inggris memutuskan untuk menyerang daerah kekuasaan Belanda di seberang laut. Jawa sebenarnya tidak menarik perhatian dewan EIC dari segi ekonomis, kecuali dalam nilai strategis saja, karena bila dikuasai Perancis akan sangat berbahaya bagi perdagangan Inggris. Pada tanggal 31 Agustus 1810, Inggris menerima berita dari direktur EIC untuk mengusir Perancis dan Belanda dari Jawa dan tempat-tempat lain di Timur.

Sebelum melakukan serangan ke Jawa, Lord Minto mengumpulkan orang-orang yang meletakkan perhatian terhadap bahasa melayu, sejarah serta adat istiadat melayu. Diantara anggotanya ialah Dr. John C. Leyden yang kemudian merekomendasikan Thomas Stamford Raffles kepada Lord Minto.

Raffles pada mulanya seorang pegawai EIC di London dan kemudian diangkat sebagai agen di pulau Penang, di sinilah dia mulai mempelajari bahasa melayu, sejarah dan adat istiadat Melayu. Ketika penyerangan semakin dekat, Raffles ditugaskan oleh Lord Minto untuk mengadakan persiapan-persiapan diplomatik sesuai dengan Instruksi London, upaya bersahabat dengan penduduk agar serangan berlangsung dengan mudah, sedangkan dia sendiri menyiapkan segala sesuatunya yang berhubungan dengan kepentingan militer.
 

                    B.      Perjanjian Tentang dan Pembagian Wilayah
Lord Minto berangkat dari Malaka menuju ke Jawa pada tanggal 3 Agustus 1811 dan pada tanggal 18 September 1811 Belanda menyerah di Tuntang (Salatiga) dan menandatangani perjanjian Tuntang yang isinya antara lain:
·      Seluruh Jawa dan daerah taklukkannya diserahkan kepada Inggris.
·      Semua serdadu Belanda jadi tawanan dan pegawai-pegawai yang mau bekerja pada pemerintahan Inggris dapat menjabat jabatan lama.
·        Hutang selama masa Belanda-Perancis tidak menjadi tanggungan Inggris.
·       Tentara raja-raja boleh pulang ke wilayah asalnya.

Selanjutnya Lord Minto membagi wilayah Indonesia dalam empat bagian, pembagian daerah tersebut adalah sebagai berikut:
·         Jawa dan daerahnya (Madura, Palembang, makassar, Banjarmasin dan Nusa Tenggara).
·         Malaka.
·         Bengkulu (Pantai barat Sumatera).
·         Maluku.

C. Kebijakan yang Diterapkan Thomas Stamford Raffles
Tanggal 20 Juni 1812 Raffles bersama pasukannya menyerbu Yogyakarta, Sultan ditangkap dan dibuang ke Penang. Hamengkubuwono III bersekongkol dengan Inggris kembali naik tahta, sedangkan Natakusuma (Cirebon) bergabung denga  Hamengkubuwono II, sedangkan Hamengkubuwono III mendapat hadiah daerah 4000 keluarga Pakualam. Pakubuwono IV yang semulanya bersekongkol dengan HB II dikurangi daerahnya.

Setelah dari pengurangan daerah, Raffles juga mengambil alih pengelolaan pajak, gerbang dan pasar, juga larangan memiliki tentara kecuali pengawal. Sementara itu di Madura, Bali, Banjarmasin juga dipaksa untuk mengakui kekuasaan Inggris. Di Bone Inggris tidak berhasil berkuasa karena Aru Palaka selalu mengadakan perlawanan.

Di Maluku, walaupun Monopoli masih berlaku, namun sudah sangat longgar. Hal ini disebabkan karena Inggris menganggap rempah-rempah bukanlah komoditi yang penting, karena cengkeh dan pala telah berhasil ditanam di India dan penelitian mengenai tanaman itu terus dilaksanakan. Raffles juga menetapkan larangan perbudakan, adapun langkah-langkah yang dilakukannya adalah
·         Pajak bagi pemeliharaan Budak (1812)
·         Larangan perdagangan budak di seluruh Nusantara.
·         Dihapuskannya ketentuan penahanan budak oleh polisi atas permintaan pemiliknya (1813).
·     Larangan perlindungan Sekop (si Penghutang beserta keluarga jadi buruh di tempat si pemberi hutang tanpa bayar).

Pulau di atas kembali dibaginya atas 16 keresidenan dan masing-masing keresiden dikepalai oleh seorang residen. Daerah residen dibagi lagi atas kabupaten-kabupaten yang dikepalai oleh Bupati kalau dulunya seorang bupati merupakan wakil pemerintah untuk berhubungan dengan rakyat, maka Raffles hal itu diganti. Dia mengadakan perubahan yaitu mengganti sistem pemerintahan tidak langsung menjadi sistem pemerintahan langsung. Hal ini erat kaitannya dengan pandangannya bahwa kemalaratan rakyat karena tanam wajib, tekanan serta kewajiban kepada kepala-kepala tradisional. Rakyat kehilangan gairah untuk berbuat  (seperti yang dikatakan Hogendorp) karenanya perlu ditata kembali mengenai penguasaan tanah serta diberi kebebasan untuk mengelolanya.

Jadi ia bertekad untuk menghapus “Comingenten” dan “Verplice Leverantics” serta menggantinya dengan bentuk pajak baru. Dasar pemikiran Raffles yang bekerjasama dengan Muntinghe (orang pintar yang dididik dan sebelumnya tangan kanan Daendels dan mungkin dari Muntinghe inilah pikiran-pikiran Hogendorp sampai kepadanya) bahwa tanam wajib tidak menguntungkan sistem feodal dimana Bupati memegang kekuasaan mutlak menimbulkan kesengsaran terhadap petani. Dengan itu penghasilan pemerintah akan berkurang karena banyak perantara dan banyaknya hasil-hasil yang mubazir karena tidak dapat di pasarkan.

Sesuai dengan prinsip bahwa negeri jajahan harus menguntungkan negeri Induk, maka diperlukan perubahan sistem pendapatan yang konsisten dengan keadilan politik cocok dengan pandangan Inggris untuk membebaskan rakyat dari penindasan Feodal. Sistem yang diambil dari Inggris dan masih diuji coba yang dapat dirangkum dalam pokok pikiran sebagai berikut:

·         Penghapusan seluruh penyerahan paksa hasil buah dalam bentuk yang tidak seimbang dan semua kerja-kerja yang bersifat feodal dengan memberi kebebasan penuh dalam menanam dan berdagang.
·     Pemerintah akan mengawasi langsung ke tanah-tanah hasil serta tanpa perantara bupati yang dalam masa mendatang akan terbatas.
·         Penyewaan tanah dalam perkebunan besar dan kecil sesuai dengan keadaan berdasarkan kontrak untuk waktu terbatas.

Raffles juga menerapkan sistem Liberal. Dengan pemikirannya itu dia menggeser kedudukan penguasa tradisional dan diganti dengan pegawai-pegawai eropa yang akan memperkenalkan dan mengadministrasi sistem perpajakan baru, yaitu sistem pajak tanah. Yang menjadi dasar hukum dari sistem pajak tanah ini adalah pikiran bahwa tanah milik raja. Dengan pandangan demikian dia tidak mengakui adanya hak milik yang turun-temurun yang dapat diwariskan oleh petani kepada anak cucu mereka. Raffles juga dapat menyewakan tanah kepada swasta, harganya tergantung pada kesuburan tanahnya, misalnya tanah kelas satu pajaknya satu per dua dari hasil. Keinginan Raffles pajak dibayar dengan uang, dia berharap sirkulasi uang akan lebih besar, namun bila tidak tercapai ia akan meminta dibayar dengan beras.

Kalau VOC pajak ditetapkan perdesa, dimana Bupati berwenang untuk mengaturnya, maka Raffles pada mulanya juga menetapkan demikian. Namun pada prinsipnya Raffles menetapkan pajak perseorangan, apalagi setelah dicoba di Banten (1813). Kemudian Raffles menetapkan perindividu dan fungsi kepala desa tidak lebih dari pemegang buku. Karena pajak harus dibayar dengan uang, maka pedagang-pedagang perantara mendapatkan untung pula dari bentuk pajak baru ini (mereka membeli beras petani).

Tindakan lain yang dilakukan Raffles dibidang keuangan, melaksanakan monopoli garam, pembuatan arak serta memungut pajak dari orang-orang yang dimasukkan ke Jawa. Karena kekurangan uang dalam tindakannya Raffles tidak pernah konsisten. Ia tetap melaksanakan tanam wajib kopi dan kayu jati. Rodi tidak juga dihapuskan karena pemerinyahan memerlukan tenaga buruh untuk pembuatan jalan. Dia juga menjual tanah pemerintah kepada orang-orang partikulir (terletak pada daerah Panarukan, Ciasan, Tegal, dan Waru) dan membeli tanah Probolinggo (1813) yang dijual Daendels karena rakyat di sana dibawah pimpinan Kiyai Mas memberontak akibat kekejaman pemiliknya Han Ti Ko.

Hal lain yang tidak dapat dilupakan oleh Raffles adalah: usaha-usahanya dalam menyelidiki sejarah Jawa yang ditulis dalam bentuk buku dengan judul “History Of Java” (London, 1817). Disamping itu ia membantu John Crawfurd yang menulis “History of Indian Archipelago”(Edin Burg, 1820). Dia juga membantu Thomas Herafield yang menyelidiki tentang tumbuhan. Selanjutnya ia juga aktif di dalam membantu lembaga perkumpulan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, bataviasche Genotschap, yang didirikan tahun 1778, sehingga dapat berfungsi lagi.

Raffles selama masa kekuasaannya tidak berhasil menyeimbangkan anggaran belanja sehingga menimbulkan ketidakpuasan Direktur EIC. Sementara itu di Eropa terjadi lagi perubahan politik setelah Napoleon Bonaparte dikalahkan, maka antara Inggris-Belanda membuat satu perjanjian yang disebut dengan Konferensi London (1814) yang isinya antara lain:
·           Indonesia dikembalikan kepada Belanda
·             Jajahan Belanda seperti: Sailan, Cafe koloni, Guyana tetap ditangan Inggris.
·     Cochin (di pantai Malabar) diambil oleh Inggris dan Bangka diserahkan kepada Belanda sebagai gantinya.

Isi konferensi London tersebut tidak disetujui oleh Raffles, karena dia melihat Indonesia akan mempunyai arti yang sangat penting dikemudian hari. Ketidaksesuainnya dengan pusat menyebabkan dia diganti oleh Jonh Fendal (1816) yang kemudian melakukan serah terima Indonesia ke tangan Belanda pada tanggal 19 Agustus 1816.
 

Tidak ada komentar: