Politik dan
Ekonomi Indonesia 1811-1816
A. Kedatangan Thomas Stamford Raffles
Setelah Napoleon menguasai Belanda dan
sementara Daendels memperkuat pertahanan di Jawa, Inggris memutuskan untuk
menyerang daerah kekuasaan Belanda di seberang laut. Jawa sebenarnya tidak
menarik perhatian dewan EIC dari segi ekonomis, kecuali dalam nilai strategis
saja, karena bila dikuasai Perancis akan sangat berbahaya bagi perdagangan
Inggris. Pada tanggal 31 Agustus 1810, Inggris menerima berita dari direktur
EIC untuk mengusir Perancis dan Belanda dari Jawa dan tempat-tempat lain di
Timur.
Sebelum melakukan serangan ke Jawa, Lord
Minto mengumpulkan orang-orang yang meletakkan perhatian terhadap bahasa
melayu, sejarah serta adat istiadat melayu. Diantara anggotanya ialah Dr. John
C. Leyden yang kemudian merekomendasikan Thomas Stamford Raffles kepada Lord
Minto.
Raffles pada mulanya seorang pegawai EIC
di London dan kemudian diangkat sebagai agen di pulau Penang, di sinilah dia
mulai mempelajari bahasa melayu, sejarah dan adat istiadat Melayu. Ketika
penyerangan semakin dekat, Raffles ditugaskan oleh Lord Minto untuk mengadakan
persiapan-persiapan diplomatik sesuai dengan Instruksi London, upaya bersahabat
dengan penduduk agar serangan berlangsung dengan mudah, sedangkan dia sendiri
menyiapkan segala sesuatunya yang berhubungan dengan kepentingan militer.
B. Perjanjian Tentang dan Pembagian Wilayah
Lord Minto berangkat dari Malaka menuju
ke Jawa pada tanggal 3 Agustus 1811 dan pada tanggal 18 September 1811 Belanda
menyerah di Tuntang (Salatiga) dan menandatangani perjanjian Tuntang yang
isinya antara lain:
·
Seluruh Jawa dan daerah
taklukkannya diserahkan kepada Inggris.
·
Semua serdadu Belanda jadi
tawanan dan pegawai-pegawai yang mau bekerja pada pemerintahan Inggris dapat
menjabat jabatan lama.
·
Hutang selama masa
Belanda-Perancis tidak menjadi tanggungan Inggris.
·
Tentara raja-raja boleh
pulang ke wilayah asalnya.
Selanjutnya Lord Minto membagi wilayah
Indonesia dalam empat bagian, pembagian daerah tersebut adalah sebagai berikut:
·
Jawa dan daerahnya (Madura,
Palembang, makassar, Banjarmasin dan Nusa Tenggara).
·
Malaka.
·
Bengkulu (Pantai barat
Sumatera).
·
Maluku.
C. Kebijakan yang Diterapkan Thomas Stamford Raffles
Tanggal 20 Juni 1812 Raffles bersama
pasukannya menyerbu Yogyakarta, Sultan ditangkap dan dibuang ke Penang.
Hamengkubuwono III bersekongkol dengan Inggris kembali naik tahta, sedangkan
Natakusuma (Cirebon) bergabung denga
Hamengkubuwono II, sedangkan Hamengkubuwono III mendapat hadiah daerah 4000
keluarga Pakualam. Pakubuwono IV yang semulanya bersekongkol dengan HB II
dikurangi daerahnya.
Setelah dari pengurangan daerah, Raffles
juga mengambil alih pengelolaan pajak, gerbang dan pasar, juga larangan
memiliki tentara kecuali pengawal. Sementara itu di Madura, Bali, Banjarmasin
juga dipaksa untuk mengakui kekuasaan Inggris. Di Bone Inggris tidak berhasil
berkuasa karena Aru Palaka selalu mengadakan perlawanan.
Di Maluku, walaupun Monopoli masih
berlaku, namun sudah sangat longgar. Hal ini disebabkan karena Inggris
menganggap rempah-rempah bukanlah komoditi yang penting, karena cengkeh dan
pala telah berhasil ditanam di India dan penelitian mengenai tanaman itu terus
dilaksanakan. Raffles juga menetapkan larangan perbudakan, adapun
langkah-langkah yang dilakukannya adalah
·
Pajak bagi pemeliharaan
Budak (1812)
·
Larangan perdagangan budak
di seluruh Nusantara.
·
Dihapuskannya ketentuan
penahanan budak oleh polisi atas permintaan pemiliknya (1813).
· Larangan perlindungan Sekop
(si Penghutang beserta keluarga jadi buruh di tempat si pemberi hutang tanpa
bayar).
Pulau di atas kembali dibaginya atas 16
keresidenan dan masing-masing keresiden dikepalai oleh seorang residen. Daerah
residen dibagi lagi atas kabupaten-kabupaten yang dikepalai oleh Bupati kalau
dulunya seorang bupati merupakan wakil pemerintah untuk berhubungan dengan
rakyat, maka Raffles hal itu diganti. Dia mengadakan perubahan yaitu mengganti
sistem pemerintahan tidak langsung menjadi sistem pemerintahan langsung. Hal
ini erat kaitannya dengan pandangannya bahwa kemalaratan rakyat karena tanam
wajib, tekanan serta kewajiban kepada kepala-kepala tradisional. Rakyat
kehilangan gairah untuk berbuat (seperti
yang dikatakan Hogendorp) karenanya perlu ditata kembali mengenai penguasaan
tanah serta diberi kebebasan untuk mengelolanya.
Jadi ia bertekad untuk menghapus
“Comingenten” dan “Verplice Leverantics” serta menggantinya dengan bentuk pajak
baru. Dasar pemikiran Raffles yang bekerjasama dengan Muntinghe (orang pintar
yang dididik dan sebelumnya tangan kanan Daendels dan mungkin dari Muntinghe
inilah pikiran-pikiran Hogendorp sampai kepadanya) bahwa tanam wajib tidak
menguntungkan sistem feodal dimana Bupati memegang kekuasaan mutlak menimbulkan
kesengsaran terhadap petani. Dengan itu penghasilan pemerintah akan berkurang
karena banyak perantara dan banyaknya hasil-hasil yang mubazir karena tidak
dapat di pasarkan.
Sesuai dengan prinsip bahwa negeri
jajahan harus menguntungkan negeri Induk, maka diperlukan perubahan sistem
pendapatan yang konsisten dengan keadilan politik cocok dengan pandangan
Inggris untuk membebaskan rakyat dari penindasan Feodal. Sistem yang diambil
dari Inggris dan masih diuji coba yang dapat dirangkum dalam pokok pikiran
sebagai berikut:
·
Penghapusan seluruh
penyerahan paksa hasil buah dalam bentuk yang tidak seimbang dan semua
kerja-kerja yang bersifat feodal dengan memberi kebebasan penuh dalam menanam
dan berdagang.
·
Pemerintah akan mengawasi
langsung ke tanah-tanah hasil serta tanpa perantara bupati yang dalam masa
mendatang akan terbatas.
·
Penyewaan tanah dalam
perkebunan besar dan kecil sesuai dengan keadaan berdasarkan kontrak untuk
waktu terbatas.
Raffles juga menerapkan sistem Liberal.
Dengan pemikirannya itu dia menggeser kedudukan penguasa tradisional dan
diganti dengan pegawai-pegawai eropa yang akan memperkenalkan dan
mengadministrasi sistem perpajakan baru, yaitu sistem pajak tanah. Yang menjadi
dasar hukum dari sistem pajak tanah ini adalah pikiran bahwa tanah milik raja.
Dengan pandangan demikian dia tidak mengakui adanya hak milik yang
turun-temurun yang dapat diwariskan oleh petani kepada anak cucu mereka.
Raffles juga dapat menyewakan tanah kepada swasta, harganya tergantung pada
kesuburan tanahnya, misalnya tanah kelas satu pajaknya satu per dua dari hasil.
Keinginan Raffles pajak dibayar dengan uang, dia berharap sirkulasi uang akan
lebih besar, namun bila tidak tercapai ia akan meminta dibayar dengan beras.
Kalau VOC pajak ditetapkan perdesa,
dimana Bupati berwenang untuk mengaturnya, maka Raffles pada mulanya juga
menetapkan demikian. Namun pada prinsipnya Raffles menetapkan pajak
perseorangan, apalagi setelah dicoba di Banten (1813). Kemudian Raffles
menetapkan perindividu dan fungsi kepala desa tidak lebih dari pemegang buku.
Karena pajak harus dibayar dengan uang, maka pedagang-pedagang perantara mendapatkan
untung pula dari bentuk pajak baru ini (mereka membeli beras petani).
Tindakan lain yang dilakukan Raffles
dibidang keuangan, melaksanakan monopoli garam, pembuatan arak serta memungut
pajak dari orang-orang yang dimasukkan ke Jawa. Karena kekurangan uang dalam
tindakannya Raffles tidak pernah konsisten. Ia tetap melaksanakan tanam wajib
kopi dan kayu jati. Rodi tidak juga dihapuskan karena pemerinyahan memerlukan
tenaga buruh untuk pembuatan jalan. Dia juga menjual tanah pemerintah kepada
orang-orang partikulir (terletak pada daerah Panarukan, Ciasan, Tegal, dan
Waru) dan membeli tanah Probolinggo (1813) yang dijual Daendels karena rakyat
di sana dibawah pimpinan Kiyai Mas memberontak akibat kekejaman pemiliknya Han
Ti Ko.
Hal lain yang tidak dapat dilupakan oleh
Raffles adalah: usaha-usahanya dalam menyelidiki sejarah Jawa yang ditulis
dalam bentuk buku dengan judul “History Of Java” (London, 1817). Disamping itu
ia membantu John Crawfurd yang menulis “History of Indian Archipelago”(Edin
Burg, 1820). Dia juga membantu Thomas Herafield yang menyelidiki tentang
tumbuhan. Selanjutnya ia juga aktif di dalam membantu lembaga perkumpulan
kebudayaan dan ilmu pengetahuan, bataviasche Genotschap, yang didirikan tahun
1778, sehingga dapat berfungsi lagi.
Raffles selama masa kekuasaannya tidak
berhasil menyeimbangkan anggaran belanja sehingga menimbulkan ketidakpuasan
Direktur EIC. Sementara itu di Eropa terjadi lagi perubahan politik setelah
Napoleon Bonaparte dikalahkan, maka antara Inggris-Belanda membuat satu perjanjian
yang disebut dengan Konferensi London (1814) yang isinya antara lain:
·
Indonesia dikembalikan
kepada Belanda
·
Jajahan Belanda seperti:
Sailan, Cafe koloni, Guyana tetap ditangan Inggris.
·
Cochin (di pantai Malabar)
diambil oleh Inggris dan Bangka diserahkan kepada Belanda sebagai gantinya.
Isi konferensi London tersebut tidak
disetujui oleh Raffles, karena dia melihat Indonesia akan mempunyai arti yang
sangat penting dikemudian hari. Ketidaksesuainnya dengan pusat menyebabkan dia
diganti oleh Jonh Fendal (1816) yang kemudian melakukan serah terima Indonesia
ke tangan Belanda pada tanggal 19 Agustus 1816.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar