Minggu, 24 Maret 2013

Politik dan Eonomi Indonesia 1816-1830



Politik dan Ekonomi Indonesia 1816-1830


    A.    Masa Komisaris Jenderal 1816-1819
Setelah Napoleon mengalami kekalahan di Leipzig 1813, maka orang-orang Belanda melakukan pemberontakan terhadap Perancis. Saudara Van Hogendorp membuat organisasi pemerintahan sementara dan memanggil Willem VI [anak Standhouder (Willem V)] dari Inggris. Menurut Undang-undang yang diterima tahun 1814, dia menjadi pangeran dengan tugas yang lebih luas yaitu tidak hanya mengurusi masalah keuangan saja, namun juga mengontrol daerah jajahan. Setelah itu pada tahun 1815 menurut isi perjanjian Wina, Belanda dan Belgia bergabung, maka dengan itu terbentuklah negara kerajaan Nederland. membuat kedudukan Willem VI berubah menjadi raja dengan nama Willem I.
Dengan adanya Traktat London pada tahun 1814, mengharuskan Inggris untuk mengembalikan semua jajahan Belanda yang telah ditaklukkan semenjak 1803, kecuali Afrika Selatan dan Ceylon. Termasuk Indonesia khususnya Jawa yang semenjak tahun 1811 telah di kuasai Inggris harus di kembalikan lagi kepada Belanda. Inilah awal dimulainya masa Imprealisme Belanda secara langsung (sebelumnya hanya melalui perpanjangan tangan pemerintahan Belanda dengan VOC) yang bernama “Hindia Belanda”. Untuk serah terima antara Inggris dan Belanda, ditunjuk tiga orang komisaris Jenderal, yaitu Cornelis Theodorus Elout, Baron Van Der Capellen(seorang ahli kenegaraan dengan reputasi yang tinggi) dan A.A Buyskes (yang sebelumnya adalah Letnan Gubernur Jenderal pada masa Daendels) dan komisaris-komisaris ini dibantu oleh H.W Muntinghe yang berpengalaman. Sebagai ketua di tunjuk Elout karena ia adalah seorang Liberal, Humatarian, dan pengikut pandangan Adam Smith.
Untuk menjalankan tugas-tugasnya, para komisaris-komisaris ini dilengkapi dengan Undang-undang pemerintahan 1815 yang didasarkan pada kebebasan bertanam (kecuali rempah-remapah dan candu), kebebasan menjual apabila pajak telah dibayar dan hasil berlebih. Ketiga jenderal ini sampai di Jawa pada bulan April 1816 dan kemudian baru pada tanggal 19 agustus 1816 di adakan serah terima dengan pihak Inggris. Dalam naskah serah terima tersebut dinyatakan bahwa “Komisaris Jenderal diberi kekuasaan atas nama raja dan berhak memerintah serta menjalankan pemerintahan” dan untuk sementara waktu peraturan-peraturan yang berlaku sebelumnya akan dipertahankan.
Tugas-tugas yang dijalankan oleh para komisaris ini tidaklah mudah, karena para komisaris ini dihadapkan oleh banyak masalah antara lain adalah, masalah serah terima di luar Jawa, lalu masalah dengan Raffles dari Inggris yang tidak menyetujui isi dari Traktat London tersebut, masalah keungan dan mempersiapkan peraturan-peraturan yang sesuai dengan Jawa khusunya dan Indonesia Umumnya.
Dikatakan bahwa tugas-tugas yang akan dijalankan oleh para komisaris ini cukup berat seperti pada masalah serah terima serta keamanan terjadi di daerah Maluku dan Palembang. Masalah di Maluku, kedatangan Belanda disambut oleh kaum pribumi dengan penuh kecurigaan, kebencian yang mendalam akibat penindasan yang pernah dilakukan oleh VOC dan  dibandingkan dengan kelonggaran-kelonggaran yang diberikan Inggris menyebabkan penduduk pribumi menentang kembalinya kekuasaan Belanda. Kebencian tersebut berubah menjadi sebuah pemberntakan yang dikenal dengan nama Perang Patimura(Pemberontakan Sapura). Perlawanan ini dapat diredam oleh Belanda dengan cara tipu muslihat dan pengalaman pahit tersebut menyebabkan Belanda menerapkan bahwa sistem monopoli dan pelayaran Hongi dihapuskan.
Di Palembang juga terjadi perlawan, Sutan Najamuddin yang diangkat oleh Inggris (masa Raffles) dibuang ke Cianjur. Lalu sultan Badaruddin yang dulunya menentang Belanda dan juga menentang Inggris di nobatkan kembali (1818). Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Sultan Badaruddin untuk mensiasati cara untuk melakukan perlawanan dengan Belanda. Pada tahun 1819 Belanda gagal menaklukkan Palembang, barulah pada tahun 1821 di bawah De Cock Palembang dapat ditaklukkan oleh Belanda dan Sutan Badaruddin pun dibung Belanda ke Ternate.
Peraturan-peraturan tahun 1818 dan 1819 ditetapkan antara lain: pajak tanah per-individu diganti dengan pedesaan, penetapannya tiddak ditentukan secara jumlah yang harus dibayar sebuah desa berdasarkan persetujuan, jadi dengan cara tawar menawar dan dapat dapat dibayar dengan uang atau apa yang disukai petani.
Mengenai kedudukan bupati, pemikiran komisaris Jenderal adalah sebagai berikut, setelah Daendels dan Raffles membenahi sistem pemerintahan dengan menggeser kedudukan bupati dari seorang penguasa tradisional menjadi hanya sebagai pegawai yang digaji dengan menanggalkan hak-hak tradisionalnya, maka tentang ketetapan itu ada perbedaan pandangan residen-residen. Ada residen yang beranggapan bahwa mereka tidak dapat berhubungan dengan penduduk tanpa melalui bupati-bupati dan sebagian lagi berpendapat tidak diperlukan lagi peranan bupati sama sekali. Namun pemerintahan yang berada di negeri induk berpendapat diperlukan peran bupati, karena aturan-aturan mengenai hal tersebut perlu ditata kembali.

    B.     Masa Van Der Capellen 1819-1826
Berbeda dengan dua orang anggota komisi yang telah kembali ke Belanda, Van der Capellen ternyata lebih dikuasai oleh semangat reaksioner (konservatif). Dia sama sekali berbuat atau memerintah tidak berpedoman pada Undang-undang 1818/1819 yang telah disusun, sebaliknya setapak demi setapak kembali ke sistem lama.
Dengan modus untuk melindungi petani dari eksploitasi, dia tidak menyokong perkebunan swasta, baik mereka sebagai penguasa perkebunan ataupun sebagai pedagang. Seperti dinyatakan diatas, dilakukannya dengan modus untuk melindungi petani dari orang-orang asing. Namun dari kenyataannya, harga yang dibayarkan pemerintah kemudian sangat rendah (monopoli), walaupun kemudian ada perintah dari negeri induk (Belanda) 1821 supaya harga dinaikkan, namun tidak dipatuhi oleh Van Der Capellen.
Undang-undang di tahun 1823 berakibat lebih parah lagi. Isinya berupa larangan menyewakan tanah-tanah di kerajaan Surakarta dan Yogyakarta kepada orang-orang asing (Eropa). Di daerah kerajaan itu masih berlaku sistem lama dimana pegawai-pegawai dibayar dengan hasil tanah yang diberikan hak guna memakai mereka. Tanah-tanah itukah yang disewakan para bangsawan nantinya kepada orang-orang Eropadengan sewa yang lebih besar terhadap para bangsawan dan raja Yogyakarta, sehingga kesalahan yang terjadi ketika masa Daendels, meletus dalam bentuk perang Java.
Di luar pulau Jawa perlawanan terhadap Belanda timbul diberbagai daerah, seperti di Palembang dan Sumatera Barat. Tentu saja semua usaha memadamkan perlawanan memerlukan biaya yang banyak. Sedangkan usulan dibidang keuangan dan perkebunan tidak mendapatkan kemajuan. Hal tersebut menimbulkan rasa antipati pemerintahan Belanda terhadap Van der Capellen.
Secara umum dapat disimpulkan ketidakpuasan kepada pemerintahan Van der Capellen adalah sebagai berikut:
1.      Hutan yang semakin besar (Pengeluarannya 24 juta gulden lebih besar dari pemasukan)
2.      Semakin berkurangnya hasil tanaman ekspor.
3.      Antipati dari penanaman modal partikelir akibat politiknya terhadap pemilikan tanah.
4.      Sementara itu golongan liberal mengutuk sikapnya yang konservatif.

Sebagai penggantinyadiabgkat Du Bus de Ghiesignies dengan pangkat komisaris Jenderal, yang diberi kuasa mutlak untuk mengadakan perubahan-perubahan yang dirasa perlu dengan tugas pokok mengadakan penghematan serta penyelidikan tentang kemungkinan-kemungkinan sumber uang.

     C.    Masa De Bus de Gisignies 1826-1830
Du Bus de Gisignies seorang yang Liberal yang secara terang-terangan membela gagasan Raffles dan komisaris Jenderal.
Dia mencabut larangan menyewakan tanah oleh raja-raja dan kaum bangsawan kepada swasta, yang sebelumnya dikeluarkan oleh Van der Capellen. Selanjutnya (Mei 1827), Du Bus telah dapat mengemukakan hasil penyelidikannya yang antara lain berisi, ekspor Jawa tidak sebanding dengan kesuburan tanah dan banyaknya tenaga. Baru kurang lebih 4/5 tanah yang dikerjakan. Selama ekspor tidak dapat ditingkatkan dengan mengganti milik bersama menjadi milik perorangan, penambahan modal baru untuk perkebunan di samping yang telah ada. Tanah0tanah yang diberikan adalah tanah-tanah yang belum dibuka yang terletak dekat desa yang padat sehingga petani dapat tambahan penghasilan baru.
Buah pikiran De Bus tersebut ditolak oleh raja, ternyata tidak ada orang asing (Eropa) yang mau menanamkan modalnya di Indonesia. Sementara itu keuangan Belanda makin morat-marit akibat situasi Eropa serta perang-perang terjadi di Indonesia. Defisit keuangan menimbulkan kekhawatiran kalau-kalu budget 1829 ditolak oleh parlemen. Karena itu perlu dicari sebuah jalan keluar untuk menyakinkan parlemen. Jalan tersebut ditunjuk oleh Letjen Van den Bosch yaitu melaksanakan sistem baru yang terkenal dengan nama sistem tanam paksa, agar mau menyetujui budget yang telah disusun.


DAFTAR PUSTAKA
Kartodirjo, Ssartono.1999.Pengantar Sejarah Indonesia Baru:1500-1900 dari Emporium Sampai Imperium Jilid 1.Jakarta:PT.Gramedia Pustaka
Kartodirjo,Sartono.1984.Sejarah Indonesia IV.Jakarta:Balai Pustaka
Asri,Zul.2005.Hand Out Sejarah Indonesia Zaman Pengaruh Barat.Padang

BACA JUGA:
febrisejarahkebudayaan.blogspot.com 
 

Tidak ada komentar: