Politik dan Ekonomi Indonesia 1816-1830
A.
Masa Komisaris Jenderal 1816-1819
Setelah Napoleon mengalami kekalahan di Leipzig 1813, maka orang-orang
Belanda melakukan pemberontakan terhadap Perancis. Saudara Van Hogendorp
membuat organisasi pemerintahan sementara dan memanggil Willem VI [anak
Standhouder (Willem V)] dari Inggris. Menurut Undang-undang yang diterima tahun
1814, dia menjadi pangeran dengan tugas yang lebih luas yaitu tidak hanya
mengurusi masalah keuangan saja, namun juga mengontrol daerah jajahan. Setelah
itu pada tahun 1815 menurut isi perjanjian Wina, Belanda dan Belgia bergabung,
maka dengan itu terbentuklah negara kerajaan Nederland. membuat kedudukan
Willem VI berubah menjadi raja dengan nama Willem I.
Dengan adanya Traktat London pada tahun 1814, mengharuskan Inggris untuk
mengembalikan semua jajahan Belanda yang telah ditaklukkan semenjak 1803,
kecuali Afrika Selatan dan Ceylon. Termasuk Indonesia khususnya Jawa yang
semenjak tahun 1811 telah di kuasai Inggris harus di kembalikan lagi kepada
Belanda. Inilah awal dimulainya masa Imprealisme Belanda secara langsung
(sebelumnya hanya melalui perpanjangan tangan pemerintahan Belanda dengan VOC)
yang bernama “Hindia Belanda”. Untuk serah terima antara Inggris dan Belanda,
ditunjuk tiga orang komisaris Jenderal, yaitu Cornelis Theodorus Elout, Baron
Van Der Capellen(seorang ahli kenegaraan dengan reputasi yang tinggi) dan A.A
Buyskes (yang sebelumnya adalah Letnan Gubernur Jenderal pada masa Daendels)
dan komisaris-komisaris ini dibantu oleh H.W Muntinghe yang berpengalaman.
Sebagai ketua di tunjuk Elout karena ia adalah seorang Liberal, Humatarian, dan
pengikut pandangan Adam Smith.
Untuk menjalankan tugas-tugasnya, para komisaris-komisaris ini dilengkapi
dengan Undang-undang pemerintahan 1815 yang didasarkan pada kebebasan bertanam
(kecuali rempah-remapah dan candu), kebebasan menjual apabila pajak telah
dibayar dan hasil berlebih. Ketiga jenderal ini sampai di Jawa pada bulan April
1816 dan kemudian baru pada tanggal 19 agustus 1816 di adakan serah terima
dengan pihak Inggris. Dalam naskah serah terima tersebut dinyatakan bahwa
“Komisaris Jenderal diberi kekuasaan atas nama raja dan berhak memerintah serta
menjalankan pemerintahan” dan untuk sementara waktu peraturan-peraturan yang
berlaku sebelumnya akan dipertahankan.
Tugas-tugas yang dijalankan oleh para komisaris ini tidaklah mudah, karena
para komisaris ini dihadapkan oleh banyak masalah antara lain adalah, masalah
serah terima di luar Jawa, lalu masalah dengan Raffles dari Inggris yang tidak menyetujui
isi dari Traktat London tersebut, masalah keungan dan mempersiapkan
peraturan-peraturan yang sesuai dengan Jawa khusunya dan Indonesia Umumnya.
Dikatakan bahwa tugas-tugas yang akan dijalankan oleh para komisaris ini
cukup berat seperti pada masalah serah terima serta keamanan terjadi di daerah
Maluku dan Palembang. Masalah di Maluku, kedatangan Belanda disambut oleh kaum
pribumi dengan penuh kecurigaan, kebencian yang mendalam akibat penindasan yang
pernah dilakukan oleh VOC dan
dibandingkan dengan kelonggaran-kelonggaran yang diberikan Inggris
menyebabkan penduduk pribumi menentang kembalinya kekuasaan Belanda. Kebencian
tersebut berubah menjadi sebuah pemberntakan yang dikenal dengan nama Perang
Patimura(Pemberontakan Sapura). Perlawanan ini dapat diredam oleh Belanda
dengan cara tipu muslihat dan pengalaman pahit tersebut menyebabkan Belanda
menerapkan bahwa sistem monopoli dan pelayaran Hongi dihapuskan.
Di Palembang juga terjadi perlawan, Sutan Najamuddin yang diangkat oleh
Inggris (masa Raffles) dibuang ke Cianjur. Lalu sultan Badaruddin yang dulunya
menentang Belanda dan juga menentang Inggris di nobatkan kembali (1818).
Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Sultan Badaruddin untuk mensiasati cara untuk
melakukan perlawanan dengan Belanda. Pada tahun 1819 Belanda gagal menaklukkan
Palembang, barulah pada tahun 1821 di bawah De Cock Palembang dapat ditaklukkan
oleh Belanda dan Sutan Badaruddin pun dibung Belanda ke Ternate.
Peraturan-peraturan tahun 1818 dan 1819 ditetapkan antara lain: pajak tanah
per-individu diganti dengan pedesaan, penetapannya tiddak ditentukan secara
jumlah yang harus dibayar sebuah desa berdasarkan persetujuan, jadi dengan cara
tawar menawar dan dapat dapat dibayar dengan uang atau apa yang disukai petani.
Mengenai kedudukan bupati, pemikiran komisaris Jenderal adalah sebagai
berikut, setelah Daendels dan Raffles membenahi sistem pemerintahan dengan
menggeser kedudukan bupati dari seorang penguasa tradisional menjadi hanya
sebagai pegawai yang digaji dengan menanggalkan hak-hak tradisionalnya, maka
tentang ketetapan itu ada perbedaan pandangan residen-residen. Ada residen yang
beranggapan bahwa mereka tidak dapat berhubungan dengan penduduk tanpa melalui
bupati-bupati dan sebagian lagi berpendapat tidak diperlukan lagi peranan
bupati sama sekali. Namun pemerintahan yang berada di negeri induk berpendapat
diperlukan peran bupati, karena aturan-aturan mengenai hal tersebut perlu
ditata kembali.
B.
Masa Van Der Capellen 1819-1826
Berbeda dengan dua orang anggota komisi yang telah kembali ke Belanda, Van
der Capellen ternyata lebih dikuasai oleh semangat reaksioner (konservatif).
Dia sama sekali berbuat atau memerintah tidak berpedoman pada Undang-undang
1818/1819 yang telah disusun, sebaliknya setapak demi setapak kembali ke sistem
lama.
Dengan modus untuk melindungi petani dari eksploitasi, dia tidak menyokong
perkebunan swasta, baik mereka sebagai penguasa perkebunan ataupun sebagai
pedagang. Seperti dinyatakan diatas, dilakukannya dengan modus untuk melindungi
petani dari orang-orang asing. Namun dari kenyataannya, harga yang dibayarkan
pemerintah kemudian sangat rendah (monopoli), walaupun kemudian ada perintah
dari negeri induk (Belanda) 1821 supaya harga dinaikkan, namun tidak dipatuhi
oleh Van Der Capellen.
Undang-undang di tahun 1823 berakibat lebih parah lagi. Isinya berupa
larangan menyewakan tanah-tanah di kerajaan Surakarta dan Yogyakarta kepada
orang-orang asing (Eropa). Di daerah kerajaan itu masih berlaku sistem lama
dimana pegawai-pegawai dibayar dengan hasil tanah yang diberikan hak guna
memakai mereka. Tanah-tanah itukah yang disewakan para bangsawan nantinya
kepada orang-orang Eropadengan sewa yang lebih besar terhadap para bangsawan
dan raja Yogyakarta, sehingga kesalahan yang terjadi ketika masa Daendels,
meletus dalam bentuk perang Java.
Di luar pulau Jawa perlawanan terhadap Belanda timbul diberbagai daerah,
seperti di Palembang dan Sumatera Barat. Tentu saja semua usaha memadamkan
perlawanan memerlukan biaya yang banyak. Sedangkan usulan dibidang keuangan dan
perkebunan tidak mendapatkan kemajuan. Hal tersebut menimbulkan rasa antipati
pemerintahan Belanda terhadap Van der Capellen.
Secara umum dapat disimpulkan ketidakpuasan kepada pemerintahan Van der
Capellen adalah sebagai berikut:
1.
Hutan yang semakin besar (Pengeluarannya 24 juta gulden lebih besar dari
pemasukan)
2.
Semakin berkurangnya hasil tanaman ekspor.
3.
Antipati dari penanaman modal partikelir akibat politiknya terhadap
pemilikan tanah.
4.
Sementara itu golongan liberal mengutuk sikapnya yang konservatif.
Sebagai penggantinyadiabgkat Du Bus de Ghiesignies dengan
pangkat komisaris Jenderal, yang diberi kuasa mutlak untuk mengadakan
perubahan-perubahan yang dirasa perlu dengan tugas pokok mengadakan penghematan
serta penyelidikan tentang kemungkinan-kemungkinan sumber uang.
C.
Masa De Bus de Gisignies 1826-1830
Du Bus de Gisignies seorang yang Liberal yang secara terang-terangan
membela gagasan Raffles dan komisaris Jenderal.
Dia mencabut larangan menyewakan tanah oleh raja-raja dan kaum bangsawan
kepada swasta, yang sebelumnya dikeluarkan oleh Van der Capellen. Selanjutnya
(Mei 1827), Du Bus telah dapat mengemukakan hasil penyelidikannya yang antara
lain berisi, ekspor Jawa tidak sebanding dengan kesuburan tanah dan banyaknya
tenaga. Baru kurang lebih 4/5 tanah yang dikerjakan. Selama ekspor tidak dapat
ditingkatkan dengan mengganti milik bersama menjadi milik perorangan,
penambahan modal baru untuk perkebunan di samping yang telah ada. Tanah0tanah
yang diberikan adalah tanah-tanah yang belum dibuka yang terletak dekat desa
yang padat sehingga petani dapat tambahan penghasilan baru.
Buah pikiran De Bus tersebut ditolak oleh raja, ternyata tidak ada orang
asing (Eropa) yang mau menanamkan modalnya di Indonesia. Sementara itu keuangan
Belanda makin morat-marit akibat situasi Eropa serta perang-perang terjadi di
Indonesia. Defisit keuangan menimbulkan kekhawatiran kalau-kalu budget 1829
ditolak oleh parlemen. Karena itu perlu dicari sebuah jalan keluar untuk
menyakinkan parlemen. Jalan tersebut ditunjuk oleh Letjen Van den Bosch yaitu
melaksanakan sistem baru yang terkenal dengan nama sistem tanam paksa, agar mau
menyetujui budget yang telah disusun.
Kartodirjo,
Ssartono.1999.Pengantar Sejarah Indonesia Baru:1500-1900 dari Emporium Sampai
Imperium Jilid 1.Jakarta:PT.Gramedia Pustaka
Kartodirjo,Sartono.1984.Sejarah
Indonesia IV.Jakarta:Balai Pustaka
Asri,Zul.2005.Hand Out Sejarah
Indonesia Zaman Pengaruh Barat.Padang
BACA JUGA:
febrisejarahkebudayaan.blogspot.com
BACA JUGA:
febrisejarahkebudayaan.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar